Jurnalistik
cetak
1. 1. Era teknologi komunikasi mendorong kelahiran
jurnalisme online, bagaimana pendapat anda terkait nasib jurnalisme cetak untuk
dapat survive?
Jurnalisme
cetak sudah mulai terkikis oleh perkembangan digital. Saat ini begitu banyak
bermunculan media online baru dengan mudahnya. Maka secara tidak langsung
jumlah peminat dari media cetak berkurang, bahkan tidak mungkin akan mengalami
kebangkrutan karena minimnya pembaca. Disini dibutuhkan ide-ide baru untuk
mempertahankan eksistensi media cetak. Semisal apakah berita tersebut memiliki
nilai signifikan bagi reporter dan pembaca untuk mendalami ide tersebut, layak
berita, aktual, idenya orisional dan kreatif, juga punya nilai inisiatif.
Dalam
peliputan, karya tersebut mendalam sekaligus meluas, mampu menempatkan konteks
dan latar belakang, akurat, verifikatif, komperehensif, sumber-sumbernya
relevan baik resmi maupun orang biasa, menjawab rasa ingin tahu pembaca, selain
menghibur dan menyimpan upaya gigih.
Adapun
dalam penulisan yang dinilai adalah bahasa, gaya, suara, dan mood bisa secara
tepat menempatkan konteks, dapat dipercaya, pembukaan menarik, jernih, fokusnya
kuat, struktur dan menyusun kisah yang bagus, menaruh kutipan atau anekdot
secara efektif, narasi dan deskripsinya kuat, setia dengan akurasi, kreatif
alias berani menghindari klise, serta mampu menarik pembaca dari awal hingga
akhir.
Disini
media cetak sebenarnya memiliki nilai keakuratan data yang lebih tinggi
dibandingkan online. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan media cetak harus
bertahan.
2. 2. Jelaskan pendapat anda terkait jurnalisme
cetak hubungannya dengan fotografi dan karikatur?
Fungsi
foto dalam jurnalistik sama halnya dengan fungsi headline yaitu:
1.
Menarik perhatian pembaca
2.
Menyatakan isinya
3.
Membantu membuat berita lebih menarik
Kedudukan
foto dalam jurnalistik juga berbeda-beda. Adakalanya foto menjadi pelengkap
berita. Disini foto hanya sebagai pelengkap atau ilustrasi saja, misal foto
dari penulis artikel atau foto yang diberitakan, jadi bukan foto mengenai
kejadian itu sendiri. Seandainya foto tersebut tidak ada, maka tidak akan
mengurangi arti pentingnya berita.
Adakalanya
foto berbicara dengan sendirinya. Disini kedudukan foto adalah primer, sehingga
tanpa tulisan/teks pun sudah bisa dimengerti. Ada juga foto yang dilengkapi
teks. Disini kedudukannya sejajar dengan foto, jadi saling melengkapi satu sama
lain. Tanpa tulisan apa pun foto tidak bisa dimengerti dan begitupun
sebaliknya.
Selanjutnya
karikatur dan kartun dalam jurnalistik sangat berperan di dalamnya. Melalui salah
satunya, seorang jurnalis dapat mngkritik seseorang tanpa takut membuat orang
tersebut marah dan tersinggung.
Kartun,
karikatur, dan komik kerap dipandang sebagai sesuatu konyol, tidak serius, dan
main-main. Meski dipandang demikian, kita sering menjumpai ketiganya di hampir
semua media. Bahkan dalam sejarahnya, kartun dan karikatur mampu mendatangkan
kesadaran bahwa materi yang disampaikan kerap lebih
didengar daripada kritik melalui tulisan. Karena dalam diri kartun dan
karikatur terdapat kekuatan humor yang membuat obyek yang menjadi sasaran
kritik tidak marah atau tersinggung. Menurut Priyanto Sunarto, dosen Seni
Rupa ITB, yang juga karikaturis untuk Majalah Tempo, kartun
menampilkan masalah tidak secara harfiah tetapi melalui metafora agar terungkap
makna yang tersirat di balik peristiwa. Metafora merupakan pengalihan sebuah
simbol (topik) ke sistem simbol lain (kendaraan). Penggabungan dua makna
kata/situasi menimbulkan konflik antara persamaan dan perbedaan, hingga terjadi
perluasan makna menjadi makna baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar