Selasa, 08 Desember 2015

Pergi dari kelas untuk mengejar selembar kertas
Hidup adalah pilihan. Seperti itulah orang mengatakan, saat dihadapkan beberapa kenyataan dalam hidupnya. Kita pun harus siap menanggung resiko dari apa yang telah kita pilih dalam suatu pilihan tersebut. Sama halnya ketika kita dihadapkan pada pilihan dalam proses pencarian ilmu di Universitas yang kita tempati saat ini. Karena kita mendapatkan ilmu tidak hanya saat berada di ruang kelas, namun juga berbagai macam forum yang diadakan diluar waktu perkuliahan. Seperti seminar-seminar yang akhir ini begitu mendunia di kampus kita. Hampir setiap hari ada acara seminar, baik di Gedung Auditorium, SAC, maupun Fakultas masing-masing. Tak sedikit pula mahasiswa yang mendaftarkan diri sebagai peserta seminar. Yah, karena memang Universitas mewajibkan mahasiswa untuk mengumpulkan minimal 60 skek ketika Skripsi, dan itu bisa didapatkan dari seminar-seminar yang memiliki point skek berbeda sesuai tingkatannya. Salah satu hal inilah, yang menjadikan mahasiswa berbondong-bondong menyerbu stand pendaftaran seminar, entah benar-benar ingin menambah wawasan dari sang pemateri, ataukah hanya mencari selembar kertas bernilai beberapa skek. Hingga rela meninggalkan kewajiban utama yang menjadi tujuan awal mereka datang ke Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya. Mereka lebih rela meninggalkan kelas, hanya untuk mencari sebuah kertas yang entah dapat membantu kebahagiaan mereka atau tidak. Jika keikutsertaan mereka datang dari hati, itu baru bisa dibilang hal yang baik. Bukan tidak mungkin, mereka jadi berwawasan lebih luas dibandingkan mereka yang hanya berada di kelas. Mereka dapat belajar dari pengalaman-pengalaman yang terlebih dahulu dilakukan oleh sang pemateri seminar. Karena memang pengalaman adalah guru terbaik. Yah, begitulah orang bijak mengatakan. Namun, hal itu seringkali disalahgunakan oleh sebagian mahasiswa. Terkadang, mereka lebih memilih meninggalkan kelas, untuk mengikuti seminar-seminar tersebut yang notabene tidak mau tau dengan apa yang ada di dalamnnya. Padahal jika mereka benar-benar serius dengan apa yang telah menjadi pilihan mereka, hal-hal baru akan masuk ke dalam fikiran mereka dengan berbagai tambahan energi positive dari seminar yang telah mereka ikuti. Jika kita telah memilih meninggalkan kelas, totalitas saja sekalian. Kita harus benart-benar berhasil mendapatkan hal yang sekiranya bermanfaat untuk kehidupan kita selanjutnya. Kalau bisa, dapat menggantikan apa yang telah kita tinggalkan. Kita buang jauh-jauh fikiran yang hanya terpetakan dalam sebuah kertas bernilai skek. Kita dalami ilmu yang ada di hadapan kita, saat memilih berada di ruang seminar. Jadi tak ada waktu yang terbuang percuma. Ilmu yang telah kita dapatkan, pasti akan membantu perjalanan hidup kita di hari esok, fungsi kertas tersebut pun akan mengikuti secara otomatis. Masihkah kita pergi dari kelas, hanya untuk mengejar sebuah kertas semata ?

Selasa, 01 Desember 2015

fakultasku untukku

Seperti halnya peperangan tanpa dilengkapi dengan persenjataan. Kita tak akan mampu mengalahkan musuh dengan mudah. Mungkin ada harapan untuk memenangkan perang, namun tak semudah jika peperangan dilengkapi dengan persenjataan yang lengkap. Sama halnya dengan proses perkuliahan yang tak dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mampu menunjang sistem perkuliahan. Kelengkapan fasilitas, sangat berperan dalam suksesnya penyampaian materi oleh dosen di kelas. Adanya proyektor misalnya, seperti yang kita tahu dari keseluruhan ruangan yang berjumlah 29 ruang di fakultas dakwah dan komuikasi, ada 9 ruangan kelas yang tidak memiliki fasilitas proyektor. Padahal, proyektor sendiri sangat dibutuhkan ketika proses pembelajaran. Seperti saat presentasi yang pada awalnya penyampaian materi harus dengan LCD Proyektor, karena ketiadaan proyektor sendiri menyebabkan minimnya materi yang tersampaikan. Mahasiswa sendiri harus berlari kesana kemari untuk rebutan proyektor. Maklum saja, proyektor yang disediakan fakultas hanya ada dua. Jadi, siapa yang cepat dia yang dapat. Banyak juga yang mengaku kurang bersemangat saat di kelas, hanya karena ketidak adaan proyektor. Usaha mati-matian mahasiswa saat berusaha mengerjakan tugas makalah maupun power point dari dosen. Namun pada saat presentasi, harus tertunda atau bahkan gagal karena tidak adanya proyektor. Mereka harus menyampaikan materi dengan apa adanya. Sungguh sangat mengecewakan. Seperti sia-sia saja usaha yang mereka lakukan, jika harus dibayar dengan kekecewaan mendalam hanya karena sebuah masalah tidak kebagian proyektor pada saat mau presentasi. Di sisi lain, kita terkadang merasakan ketidaknyamanan saat kuliah. Lagi fokusnya belajar, tapi yang kita rasakan hanya panas dan berkeringat yang disebabkan hanya karena ketidak berfungsiannya AC. Padahal, dari Bapak Moefad selaku wakil dekan II sendiri telah menyampaikan bahwa, telah dilakukan pengecekan tiap bulan akan kelengkapan dan kondisi AC tiap ruangan kelas. Tapi entah mengapa, belum bisa mendinginkan ruang kelas. Yang bisa dilakukan hanya menggoyangkan kertas dari kanan ke kiri. Yah, apalagi kalau bukan untuk mencari angin, untuk sekedar mendinginkan kepala. Apa mungkin dunia ini terlalu panas, atau neraka telah bocor. Apa mungkin perbaikan yang dilakukan tiap bulan itu hanya formalitas atau alasan saja agar kelihatan diperbaiki dan dirawat oleh fakultas setiap bulan. Karena pada nyatanya banyak ruangan yang AC-nya mati atau bahkan tidak berfungsi sama sekali. Entahlah. Jika merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Ivan Pavlov, salah satunya adalah memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-tugas belajar. Jadi kenyamanan dalam kelas juga kita perlukan saat proses perkuliahan. Berarti fasilitas proyektor dan pendingin ruangan juga berperan dalam proses pembelajaran di FDK. Jika fakta yang ada bahwa fasilitas tersebut tidak ada sebagaimana mestinya. Dapat disimpulkan bahwa FDK tidak serius dalam proses belajar di perguruan tinggi. Sekarang pilihannya pihak akademik benar-benar memperbaiki fasiltitas kampus atau menterlantarkan keadaan kampus ???