Senin, 23 Mei 2016

Hilangnya Makna Aktivis





Peralihan jenjang pendidikan dari sma ke perguruan tinggi memiliki banyak sekali perbedaan-perbedaanya, termasuk jadwal aktivitas kesehariannya. Hal ini lah yang menjadi persoalan seperti halnya ketika di sma, jadwal merea sudah paten diberikan oleh guru/pihak akaemik, namun berbeda dengan jadwal kuliah mashasiswa yang dapat memilih jam nyasesuai dengan keperluannya sehinga mereka memiliki jeda waktu yang mereka inginkan. Karena banyak alternatif lain yang menjadi pilihan mahasiswa untuk mengisi kekosongan waktu tersebut. Ada yang lebih suka jalan-jalan atau nongkrong di mall-mall, ada yang lebih memilih pulang ke kos untuk memperpanjang waktu tidur, ada pula dari mereka yang memilih mengisi waktunya dengan mengikuti berbagai macam organisasi-organisasi kemahasiswaan.
Organisasi mahasiswa disini dapat diartikan sebagai sekumpulan mahasiswa yang membentuk sebuah kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Dimana setiap organisasi memiliki visi dan misi yang berbeda, dan terdapat aturan-aturan yang biasanya tertulis dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang biasa disebut AD/ART. Organisasi kemahasiswaan terbagi menjadi dua, yakni organisasi intra dan organisasi ekstra kampus. Organisasi intra sendiri contohnya Senat Mahasiswa (SEMA) , Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP). Untuk organisasi ekstra semisal Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan berbagai macam organisasi-organisasi yang lainnya.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh ketika mengikuti organisasi.  Karena Organisasi sebagai wadah untuk  berproses, dimana di dalamnya dapat ditemui banyak bentuk pelatihan, seperti pelatihan fungsi manajemen, Training, even, ataupun Leadership. Adapun ketika dihadapkan dalam suatu permasalahan, memimpin acara atau rapat, semua hal itu dapat dipelajari dalam organisasi.
Para mahasiswa yang aktif dalam organisasi tersebut lebih akrab  dipanggil sebagai aktivis. Aktivis sendiri seringkali diartikan sebagai mahasiswa yang gemar melakukan pergerakan, terutama gerakan turun ke jalan. Namun untuk arti aktivis sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Jadi sebenarnya aktivis itu identik dengan mereka yang berperan sebagai pendorong. Maka, ketika mahasiswa rajin ikut lomba karya tulis dan mengharumkan nama kampus, menghidupkan aktivitas mahasiswa di lingkup jurusan, itulah yang disebut aktivis. Karena makna aktivis sesungguhnya ialah “pendorong”.
Jadi, aktivis itu bukan hanya mereka yang turun ke jalan, sebagai para demonstran. Sudah bukan saatnya mahasiswa mengedepankan suara lantang, berorasi membawa massa. Sekarang  tahun 2016, Bukan lagi mahasiswa angkatan ‘66 ataupun ‘98 yang memang pada waktu itu adalah masa booming-nya berdemonstrasi, menurunkan masa pemerintahan orde baru. Lantas, apa yang harus dilakukan mahasiswa sekarang ? apa saja yang seharusnya dilakukan seorang yang disebut aktivis, ? Apakah harus berdiam diri, meratap, bahkan apatis?
Tentu tidak.
Karena mahasiswa seharusnya masih  tetap berkarya. Masih ada banyak cara lain yang dapat dilakukan sebagai seorang aktivis. Aktivis masih bisa berkarya melalui tulisannya seperti karya tulis ilmiah atau yang lainnya.
Namun pada nyatanya aktivis saat ini hanya berkutat pada politik kampus, kemampuan menulis ilmiah dan scientificnya sangat rendah. Akan banyak waktu yang terbuang jika dalam organisasi hanya untuk even dan rapat anggota daripada pengembangan intelektual. Apalagi untuk saat ini, seorang mahasiswa aktivis sudah tidak seharusnya selalu mendapat julukan mahasiswa abadi. Bagaimana tidak, aktivis biasanya selalu identik dengan meninggalkan jam perkuliahan, bahkan ada yang hampir tidak pernah masuk kelas. Karena menurut mereka organisasi adalah kampus kedua. Bahkan, mengalahkan jam perkuliahannya.
Organisasi  yang menjadi wadah bagi para aktivis sebenarnya juga mampu membantu usaha study ke luar negeri. Karena biasanya syarat mendapat beasiswa luar negeri adalah membuat karya tulis ilmiah atau penelitian. Hal ini dapat diasah dalam organisasi.
Aktivitas seorang aktivis tidak hanya politik dan even semata, namun dapat juga mengikuti lomba menulis, karya tulis ilmiah, debat, atau bahkan studi ke luar negeri. Melalui tulisan juga dapat dipakai sebagai sarana mengobarkan suara. Seorang intelek yang dapat memberi ide dan tindakan nyata adalah aktivis masa kini. Tindakan nyatanya adalah penyumbang ilmu pengetahuan melalui goresan tinta. Jadi masih banyak cara yang dapat dilakukan sebagai representasi seorang mahasiswa.
Namun untuk saat ini sudah saatnya merealisasikan aktivis yang akademis. Jadi seorang aktivis juga tidak kalah dengan mereka yang tiap harinya berada di kelas, dengan berbagai macam hafalan berbagai macam buku dalam isi kepalanya. Seorang aktivis juga dapat lulus tepat waktu, dengan membawa berbagai macam softskill yang telah dipelajari dalam organisasinya. Mengikuti studi ke luar negeri, membawa nama baik dirinya, membanggakan keluarga, kampus, atau bahkan organisasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar